Baru ge (juge) bangun, belum ge mandi, belum ge nyarap, udah ngopi.Penggalan lirik lagu nyeleneh Tabla karya musisi Anton Tabla yang dinyanyikan sendiri oleh sang penciptanya dalam dialek khas Betawi ini, sempat viral di media sosial pada tahun lalu. Ya, lirik lagu tersebut menggambarkan kebiasaan masyarakat yang gemar menyeruput kopi setiap hari, baik di waktu pagi, sore maupun malam.
Tren minum kopi memang semakin berkembang di Indonesia. Candu dari minuman berkafein tersebut terus menjalar ke semua kalangan, dari kaum remaja hingga orangtua.
Kini, budaya minum kopi bukan lagi sekadar penghilang rasa kantuk. Lebih dari itu, minum kopi sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Tak salah, jika konsumsi kopi di Indonesia terus meningkat. Pada 2018, misalnya, data Pusat Data dan Sistem Informasi Kementerian Pertanian menunjukkan, konsumsi kopi nasional mencapai sekitar 314.000 ton atau tumbuh 13,83% dibandingkan tahun 2017.
Tak pelak, bisnis kopi menjadi sebuah ladang usaha yang banyak diminati masyarakat di negeri ini, mulai dari mendirikan kedai kopi hingga menawarkan aneka jenis biji dan bubuk kopi dari seluruh daerah di Indonesia. Tak terkecuali, bagi para pekerja kantoran yang tergiur menjalankan usaha sampingan menjual biji dan bubuk kopi kemasan.
Salah satu pekerja kantoran yang jeli melihat peluang usaha dari penjualan biji dan bubuk kopi itu adalah Sebastian Poma Maro. Pria berusia 43 tahun ini mulai melakoni usaha sampingan menjual bubuk kopi kemasan sejak Januari 2019. Sebastian menjual kopi kemasan dan biji kopi (green bean) dengan brand Lingko Coffee.
Sebastian menuturkan, ia tertarik terjun ke bisnis kopi kemasan karena terdorong ingin membantu para petani kopi di daerah asalnya, yakni Desa Colol, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
"Tujuan utamanya ingin membantu para petani di kampung halaman saya dalam pemasaran hasil pertanian berupa kopi. Saya beli biji kopi dari mereka dengan harga di atas pasaran di sana," kata karyawan di sebuah perusahaan importir food ingredients (bahan tambahan pangan) di Jakarta itu.
Teknik pengolahan kopi
Menurut Sebastian, Lingko Coffee berasal dari biji kopi jenis arabika. Dia memilih kopi arabika lantaran kopi jenis ini memiliki rasa dan aroma yang khas dengan kandungan keasamannya rendah. "Selain itu, zat kafein kopi arabika juga lebih rendah dibandingkan dengan jenis kopi robusta," imbuh ayah dua orang anak ini.
Saat ini, Sebastian menjual Lingko Coffee yang sudah diproses menjadi bubuk dalam kemasan seberat 200 gram dengan harga Rp 50.000 per pieces (pcs). Untuk biji kopi, Sebastian menjualnya secara kiloan dengan harga berkisar Rp 150.000 per kilogram (kg).
Pengolahan biji kopi yang dilakukan Sebastian menggunakan teknik full wash, di mana kopi dipetik kemudian dibuang kulit merahnya lalu dicuci dan difermentasi sampai kepada proses akhir mendapatkan green bean coffee. "Untuk green bean, biasanya kami menjualnya saat musim panen kopi yang berlangsung antara bulan Juli sampai Oktober," kata dia.
Meski usahanya baru seumur jagung, bukan berarti penjualan Lingko Coffee seret. Dalam sebulan, Sebastian mengaku bisa menjual kopi bubuk sebanyak 30 pcs. Sedangkan biji kopi, Sebastian bisa menjual sebanyak 30 kg. Dengan penjualan sebanyak itu, jika dihitung, total omzet yang bisa dipetik Sebastian berkisar Rp 6 juta per bulan. Adapun, marjin usahanya berkisar 10%.
Keberhasilan Sebastian memetik omzet sebesar itu, tak lepas dari strategi pemasaran yang diterapkannya. Salah satunya, Sebastian mengandalkan jalur pemasaran secara daring (online) dengan menawarkan produknya di marketplace Tokopedia dan media sosial seperti Facebook, Instagram dan Twitter.
Selain jalur online, Sebastian juga mengandalkan pemasaran lewat jalur luring (luar jaringan) dengan menerapkan strategi canvasing, yakni menawarkan produknya ke beberapa kedai kopi. "Dengan strategi pemasaran yang kami lakukan, sepertinya tahun ini penjualan Lingko Coffee bisa besar, karena promosinya gencar," kata dia.
Sebastian menambahkan, segmen pasar yang dibidik Lingko Coffee adalah kelas menengah ke atas. "Namun tidak menutup kemungkinan siapapun yang suka dengan kopi. Untuk sementara, pembeli paling banyak berasal dari pulau Jawa," imbuh Sebastian.
Bisnis sampingan dari jualan biji kopi dan bubuk kopi kemasan juga dilakoni oleh Ambara Muji Prakosa. Karyawan di salah satu media elektronik milik grup Bakrie ini sudah memulai usaha biji kopi sejak Mei 2017 dengan merek YoKopi. Ada dua varian kopi yang dijual pria yang akrab disapa Yoko ini, yaitu jenis arabika dan robusta.
Sama seperti Sebastian, Yoko juga menjual roaster coffee atau kopi yang sudah melalui proses sangrai terlebih dahulu. Yoko mendapatkan pasokan biji kopi dari beberapa daerah penghasil kopi, antara lain, dari petani di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Aceh (Sumatra), Toraja (Sulawesi), Bali, dan Flores (NTT).
"Yang paling laku kopi arabika dari Toraja, Gayo dan kopi dari Jawa. Mungkin konsumen sudah familiar dengan kopi dari daerah tersebut," kata Yoko.
Dalam sebulan, Yoko bisa menjual kopi bubuk kemasan 250 gram dengan harga berkisar Rp 75.000Rp 120.000. Menurut Yoko, perbedaan harga tergantung dari teknik pasca panen. Dia mencontohkan, biji kopi yang diolah dengan proses wine atau lewat fermentasi, harganya jauh lebih mahal dengan kopi yang diolah dengan teknik washed atau sering disebut proses giling basah (melibatkan banyak air).
Dalam sebulan, Yoko bisa menjual kopi dalam kemasan sebanyak 20 pcs. Dengan penjualan sebanyak itu, bisnis sampingan yang dijalankan Yoko bisa menghasilkan omzet sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 2,4 juta per bulan. Kecil memang. Yoko beralasan, minimnya omzet penjualan biji kopi itu lantaran saat ini dirinya sedang fokus mengembangkan bisnis kedai minuman kopi YoKopi.
Sebelum mendirikan kedai kopi pada Januari 2018, Yoko mengaku pernah menjual kopi bubuk kemasan hingga 20 kg atau sekitar 80 pcs. Artinya, dari bisnis sampingan ini, Yoko pernah meraup omzet hingga Rp 9,6 juta per bulan. "Kalau sekarang saya memang lebih fokus menjual kopi seduh. Kopi biji belum digarap serius lagi," ujar pria berusia 38 tahun itu.
Anda tertarik menjalankan bisnis sampingan menjual kopi? Tak ada salahnya mencoba. Tapi, sebelum Anda benar-benar terjun ke bisnis ini, ada baiknya mempertimbangkan beberapa hal.
Salah satu kendalanya, menurut Yoko, adalah sulitnya mendapatkan pasokan untuk beberapa jenis kopi dari daerah penghasil." Pasokan dari daerah tertentu sulit didapat, seperti biji kopi dari Wamena, Papua. Permintaan tinggi, tapi persediaan terbatas," ungkapnya.
Pasokan sulit didapat
Pendapat Yoko dibenarkan Stanlie Andika, penjual biji kopi kemasan 200 gram dengan brand Kopi Ogut.
Menurut Stanlie, pada saat-saat tertentu seperti akhir tahun, pasokan biji kopi sulit didapatkan di pasaran. "Saya sulit mendapatkan pasokan mungkin karena saya pedagang ritel kecil. Akhir tahun bahan sudah mulai langka, bahkan habis," kata pria yang berprofesi sebagai fotografer freelance ini.
Saat ini, dalam sebulan, Stanlie bisa menjual Kopi Ogut dengan harga berkisar Rp 50.000Rp 85.000 per kg sekitar 10 kg. Artinya, penjualan Kopi Ogut berkisar 50 pcs per bulan. Jika dihitung, omzet bisnis yang dipetik Stanlie dari bisnis kopi berkisar Rp 2,5 jutaRp 4,25 juta.
Selain seretnya pasokan, kendala lain adalah mendapatkan pasokan biji kopi yang berkualitas. Sebastian menilai, saat ini edukasi untuk para petani tentang pengolahan pasca panen untuk mendapatkan kopi yang berkualitas belum berjalan dengan baik.
Akibatnya, pedagang ritel sulit mendapatkan pasokan biji kopi yang kelas premium. Padahal, pedagang ritel seperti Sebastian harus membeli pasokan biji kopi jenis arabika dari pemasok berkisar Rp 200.000 per kg.
Adapun kendala lain yang bisa menghambat bisnis sampingan jualan biji kopi adalah merancang kemasan kopi. Menurut Sebastian, untuk membuat kemasan Lingko Coffee, ia menggunakan jasa percetakan label di Jakarta. Persoalannya, untuk membuat kemasan yang terbuat dari aluminium foil dilapisi kertas coklat pada bagian luarnya itu, ada minimum order yang ditentukan pihak percetakan.
"Kalau saya minimum order pemesanan kemasan dan label sebanyak 250 pcs," katanya. Nah, harga cetak kemasan Rp 5.000 per pcs.
Yang pasti, lanjut Sebastian, modal awal untuk menjalankan bisnis kopi terbilang tidak sedikit. Ia menuturkan, untuk memulai usaha biji kopi ini, dirinya harus merogoh kocek hingga Rp 50 juta. Dana sebesar itu digunakan untuk membeli biji kopi dari petani, ongkos transportasi, biaya sangrai, mencetak kemasan, membeli timbangan, dan perlengkapan lainnya.
Nah, jika Anda sudah siap mengantisipasi sejumlah kendala tersebut, saatnya untuk mencoba. Proses pengolahan biji kopi menjadi bubuk siap kemas terbilang tidak sulit. Anda tinggal memilih teknik pengolahannya seperti yang dilakukan Sebastian, Yoko atau Stanlie. Anda juga bisa memilih dalam melakukan proses pengolahan biji kopi, apakah dengan teknik natural, wine, honey, semi washed atau full washed. Selamat mencoba!
SUMBER; insight.kontan.co.id